Kota Sampah

  • Whatsapp
Ilustrasi Sampah (Foto/fotokita.grid.id)

“Begini teman-teman, sebagai aktivis lingkungan sekolah, memang seharusnya kita berkonsentrasi dalam mengurus seputar lingkungan sekolah saja, namun apa salahnya jika kita mencari pengalaman baru di luar sana, bagaimana jika tantangan ini kita pecahkan bersama” tawar Gilang.

Kota Sampah

Awalnya aku terkejut melihat tumpukan sampah saat melintas jalan protokol ketika keluar Kota bersama ayah. Bagaimana tidak, hampir seratus meter gundukan sampah itu mulai terurai berserakan di tepi jalan.

“Kenapa TPA dibuat di sini yah,” tanyaku kepada ayah. “ini bukan tempat pembuangan akhir,” jawabnya singkat.

“Lalu kenapa sampah bisa sebanyak ini,” tanyaku lagi dengan penuh penasaran. “Owh…, itu biasa, di sini memang sampah ada dimana-mana,” jawab ayah tanpa beban.

“Loh, kenapa bisa seperti itu, bukannya sampah tidak boleh dibuang sembarangan,” timpalku.

“Huff….., menurut keterangan warga, di sini tidak ada fasilitas tempat pembuangan sampah, jadi masyarakat sudah terbiasa membuang sampah sembarangan saja,” tutur ayah dengan nada lirih. Lalu aku pun terdiam dan ayah terus memacu ban mobil dengan kencang.

“Stop stop,” ucapku tiba-tiba. “Ada apa,” tanya ayah. “Pelan-pelan dulu yah, itu tadi di depan kita ada pengendara motor yang melempar bungkusan plastik,” kataku sambil menunjuk. “Owh.., tak kirain apa, kalau selepas magrib malah lebih banyak lagi yang buang sampah seperti itu, makanya di Kota ini sampah ada dimana-mana, nanti juga di ujung jembatan sana kamu akan melihat lebih banyak lagi tumpukan sampah, makanya Kota ini dikenal sebagai Kota Sampah,” jelas ayahku.

Keesokan harinya waktu jam istirahat sekolah aku menceritakan perihal tersebut kepada Rendi, dia salah seorang aktivis lingkungan hidup di sekolahku.

Usai mendengar ceritaku, Rendi menggeleng-geleng kepala, raut wajahnya tampak seperti menyembunyikan sesuatu, lantas dia berkata “kita harus bertindak”.

Sambil menarik tanganku Rendi berkata, “Ayo kita bertemu Gilang, dia Ketua aktivis lingkungan di sekolah kita,” dan aku pun menurut saja ajakan Rendi.

Setelah mencari beberapa saat, kami bertemu Gilang sedang duduk di pojok kantin sekolah, lalu Rendi menceritakan perihal tersebut.

Lantas Gilang berkata kepada Rendi, “Beritahukan kepada seluruh aktivis lingkungan sekolah, nanti pada pukul 15.00 wib kita berkumpul di rumahku, kita diskusikan di sana”. Siap, perintah dilaksanakan, jawab Rendi dengan penuh semangat dan kami pun berpisah.

Usai pulang sekolah, jam menunjukkan pukul 14.30 wib, aku lekas saja menuju rumah Rendi yang hanya berjarak sekitar setengah kilometer dari rumahku, lalu kami berangkat bersama ke rumah Gilang.

Setelah menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit dengan mengayuh sepeda, kami pun tiba di rumah Gilang.

Kedatangan kami disambut oleh Gilang dan beberapa teman lain yang telah hadir lebih awal, diantaranya Bayu, Laras, Uci dan Rico.

“Mari-mari, silahkan,” sapa Gilang. Baik, terima kasih, jawabku dan kami pun bergabung.

“Kita tunggu sepuluh menit lagi ya, sambil menunggu beberapa orang yang belum hadir,” ucap Gilang. Baik Ketua, jawab kami.

Sambil menunggu yang lain datang, Rendi memperkenalkanku kepada teman-temannya, “Ini Deva, siswi kelas 6.a di Sekolah kita, Insya Allah hari ini Deva telah bergabung bersama kita menjadi aktivis lingkungan”. Lalu aku pun tersenyum sambil mengangguk kepala.

“Selamat bergabung Deva” ucap Laras, lalu Uci menyambungnya Alhamdulillah, srikandi kita telah bertambah lagi”.

Tak lama kemudian, semua peserta diskusi telah tiba, kecuali Zul. Menurut Andre, Zul sedang menemani ibunya berobat di klinik, dan ia berpesan, jika cepat selesai Zul akan menyusul.

Jam telah menunjukkan tepat pukul 15.00 wib, lalu Gilang memimpin diskusi, “Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh, selamat datang semuanya, hari ini kita coba berdiskusi lagi seputar permasalahan lingkungan hidup, tapi topik pembahasan kita hari ini bukan masalah sampah dalam lingkungan sekolah kita, namun masalah sampah di Kota tetangga”.

Ia melanjutkan, menurut informasi yang saya terima dari Deva dan Rendi, di Kota tetangga kita tingkat kesadaran warga dalam mengelola sampah masih sangat rendah. Selain itu, perhatian Pemerintah Daerah juga belum memadai dalam hal ini, makanya kita berkumpul hari ini untuk mencari solusi. Jelas Gilang.

“Wah… Mustahil itu,” kata Bayu. “Bagaimana bisa, sementara kita tidak memiliki sumberdaya yang memadai, apalagi itu bukan di Kota kita,” ucap Uci. “Kita tidak mempunyai biaya untuk melakukan itu, sebaiknya kita hanya fokus di lingkungan sekolah saja, agar kita dapat mempertahankan sebagai predikat lingkungan sekolah terbaik di tingkat Kabupaten,” saran Laras. “Bagaimanapun kita harus bertindak, karena kewajiban melestarikan lingkungan adalah tanggung jawab setiap individu,” bantah Rendi.

Mendengar argumen Rendi, Agus berkata dengan keras, “Itu bukan urusan kita, itu urusan Pemerintah dan masyarakat Kota setempat, wong yang merasakan dampak juga bukan kita, ngapain kita urus sampah orang”.

“Iya bener-bener,” jawab yang lain. “Ini tantangan, kalau hanya untuk mempertahankan predikat lingkungan sekolah terbaik adalah hal biasa, dan bukan hanya kali ini saja sekolah kita mendapat yang terbaik,” jawab Rendi. Lalu terjadilah perdebatan, untung saja Gilang mampu meleraikan.

“Begini teman-teman, sebagai aktivis lingkungan sekolah, memang seharusnya kita berkonsentrasi dalam mengurus seputar lingkungan sekolah saja, namun apa salahnya jika kita mencari pengalaman baru di luar sana, bagaimana jika tantangan ini kita pecahkan bersama” tawar Gilang.

“Siap Ketua, aku merasa terpanggil” sahut Zul. “Eh.. si Zul telah datang, mari-mari silahkan bergabung,” ajak Gilang.

“Kamu Zul baru datang langsung bilang siap, padahal kamu belum tau letak permasalahannya, ini tidak mudah Zul,” ucap Rico.

Lalu Zul menjawab, Sebenarnya aku secara diam-diam telah mendengar semua perdebatan kalian, terus terang aku setuju dengan misi ini, masalah strategi nanti kita atur.

“Kamu punya ide Zul,” tanya Gilang. “Iya, pamanku wartawan disalah satu media nasional ternama, bagaimana jika permasalahan ini kita sampaikan kepada beliau,” tawar Zul. “Apa kaitannya sampah dengan wartawan, yang enggak-enggak aja kamu Zul,” Ledek Agus.

“Sebentar, biar dulu Zul selesai menyampaikan idenya,” potong Gilang. “Silahkan Zul” ucap Gilang.

Lalu Zul melanjutkan menyapaikan idenya, “Kita minta kepada pamanku untuk melakukan investigasi, nanti setelah jadi berita kita pikirkan lagi langkah selanjutnya”.

Gilang hanya mengangguk saja, sambil bertanya, siapa yang punya ide untuk langkah selanjutnya.

“Ayah temanku salah seorang pejabat di tingkat Propinsi, bagaimana jika berita yang dimuat di koran itu kita serahkan kepada ayah temanku itu,” tawar Laras. “Untuk apa,” tanya Rico. “Nanti biar ayah temanku itu menelpon Walikota membahas masalah itu agar sampah-sampah itu dibersihkan semuanya”. Lagi-lagi Gilang mengangguk.

Lalu Gilang berkata, jika seandainya nanti sampah-sampah itu sudah dibersihkan semuanya dan tong-tong sampah telah disediakan oleh Pemerintah Daerah, apakah Kota itu sudah bebas dari sampah, terutama dari sampah plastik yang sangat berbahaya, saya kira tidak mungkin bila tidak dibarengi dengan pola kebiasaan buruk masyarakat setempat dirubah.

“Benar juga” jawab Rico. “Kamu ada ide Deva,” tanya Gilang kepadaku. “Teman kakak sepupuku aktivis lingkungan hidup, dia punya Lembaga dan Bank sampah, bagaimana jika kita minta kepada teman kakak sepupuku itu untuk melakukan pendampingan dan memberi pelatihan pengelolaan sampah kepada masyarakat di sana,” jawabku.

Lagi-lagi Gilang mengangguk-angguk kepala, lalu berkata “Baik, kita telah menemukan solusinya, bagaimana jika besok selesai pulang sekolah kita berkumpul untuk bertemu Pamannya si Zul”. Siap, jawab kami serentak.

Keesokan harinya usai pulang sekolah, kami semua bertandang ke rumah paman si Zul, kecuali Agus, nampaknya Agus belum sepaham dengan keputusan kami.

“Assalamualaikum,” ucap Gilang. “Waalaikumsalam”, jawab paman si Zul sambil mempersilakan masuk, “mari adik-adik”. Kami pun bersalaman dan masuk, lalu Gilang menyampaikan maksud tujuan kedatangan kami, paman si Zul hanya menjawab singkat sambil memijat jidat dengan kedua jarinya “baik, nanti saya investigasi langsung ke lapangan” Jawabnya singkat. Lalu ia berkata, “mohon maaf adik-adik, paman tidak bisa menemani lama, karena sekarang harus segera berangkat ke kantor, ada keperluan mendadak, nanti kalau ada perlu atau apa gitu, kabari aja lewat si Zul ya”. Setelah itu kami pun pulang.

Dalam perjalanan pulang Andre menggerutu sambil berkata, “aku ragu, paman si Zul tadi tidak memberi solusi, saran atau ide, kayaknya dia tidak serius menanggapi pembicaraan kita”. Lalu Andre bertanya kepadaku, “bagaimana pendapatmu Diva,” singkat saja jawabku, “kita lihat saja nanti”.

Tujuh hari kemudian Zul berlari kencang menemui kami di kantin sekolah sambil bersorak riang, “misi berhasil, misi berhasil,” kami pun semuanya menoleh ke arah Zul, lalu Zul menyodorkan koran yang ada di tangannya, “coba baca ini, berita kita sudah masuk koran nasional, keren kan”. Mana-mana tanya kami serentak. “Apa judulnya” tanya Gilang, “Kota Sampah Plastik Terbesar di Dunia Ada di Negeri Kita,” jawab Zul. “Wah, .. mantap kali paman mu Zul” ucap Uci dengan logat Batak.

“Iya dong” jawab Zul. “Bukan itu saja, tapi hasil investigasi pamanku itu telah membuat publik heboh, menurutnya berita ini sudah viral, kita tunggu saja reaksi berikutnya,” jelas Zul dengan semangat.

“Syukurlah, mari sekarang kita masuk ke langkah selanjutnya,” ajak Gilang. “Siap Ketua” jawab kami dengan penuh semangat.

Izin ketua, kayaknya Koran ini tidak perlu lagi dikasih kepada ayah teman Laras, menurut informasi pamanku, berita ini sudah sampai ke meja Menteri Lingkungan Hidup, bahkan sudah sampai ke meja Presiden,” terang Zul.

“Wiih…, setajam itu kah” tanya Gilang dengan nada heran. “Iya begitu kata pamanku” jawab Zul.

“Kalau begitu, sekarang kita fokus saja pada peningkatan kesadaran masyarakat, kapan kita bertemu teman kakak sepupu mu Deva” tanya Gilang, “kita usahakan secepat mungkin, nanti aku kasih kabar ya, kalau teman kakak sepupuku itu sudah kembali dari luar Kota,” jawabku. Lalu kami pun bubar masuk ke kelas masing-masing.

Dua hari kemudian Rendi kembali membawa koran ke sekolah, dia dengan semangat menunjukkan kepada kami isi berita di halaman utama, jika sampah-sampah di Kota itu mulai dibersihkan dengan menggunakan alat berat, lalu diangkut dengan truk-truk milik Pemerintah Kota, tampak terpampang jelas beberapa foto para pekerja sedang membersihkan sampah-sampah itu di halaman utama koran tempat Paman Rendi bekerja, menurutnya berita itu adalah terbitan edisi khusus.

“Kata Paman ku, hari ini hampir semua media nasional dan media lokal memuat berita tentang sampah Itu sebagai berita utama” jelas Rendi. Lalu Gilang berkata “Mari kita awali dari Kota sampah itu untuk Negeri cantik tanpa sampah plastik”. “Yes…yes..” ucap kami sambil mengepal tangan.

“Oh ya, bagaimana informasi kak Raka, teman kakak sepupumu itu Deva,” tanya Gilang kepadaku. “kata kakak sepupuku, tadi pagi kak Raka telah tiba dari luar Kota, dia berpesan nanti malam usai Shalat Maghrib menunggu kedatangan kita di rumahnya,” jawabku. “Oke, kalau begitu nanti kita pergi berang ya, sebelum itu terlebih dahulu kita berkumpul di rumahku,” pinta Gilang.

Tiba-tiba Agus berkata, “nanti malam aku ngak bisa ikut, mohon maaf ya teman-teman”. Lantas Gilang bertanya, “kenapa Gus” Agus pun berkilah dengan berbagai alasan, nampaknya Agus mulai merasa tidak nyaman dengan sikap pesimisnya selama ini.

Lalu Rendi berkata, “Gus, nanti aku ke rumahmu ya, setelah itu kita barengan ke rumah Gilang, bisa kan” tanya Rendi, “ayo dong Gus,” ajak kami ramai-ramai. Lalu dengan agak berat Agus pun mengangguk kepala sebagai tanda setuju.

Setelah shalat magrib kami pun tiba di rumah kak Raka, kedatangan kami agak terlambat sedikit karena harus menunggu Agus dan Rendi, menurut Rendi, Agus berulah lagi, untung saja Rendi berhasil membujuk Agus.

“Maaf kak, kedatangan kami agak terlambat,” ucap Gilang, “tadi ada…, ada…, ada sedikit….,” dengan nada terbata-bata Gilang menyampaikan, lalu kak Raka memotong, “Gak papa adik-adik, kakak juga baru tiba pulang dari Mesjid kok”.

“O..ya, gimana kabar kalian semua” tanya kak Raka dengan ramah, “Alhamdulillah baik kak” jawab kami serempak.

“Sebelumnya kakak sudah tau maksud kedatangan kalian dari Deva lewat telepon, kakak juga telah membaca berita di beberapa media masa terkait dengan itu. namun waktu itu kakak masih di luar Kota untuk mengisi materi pelatihan tentang cara mengelola sampah yang baik, sehingga sampah – sampah yang tak berguna menjadi sesuatu yang bermanfaat, bahkan dapat menghasilkan Rupiah,” jelas kak Raka.

Dalam pandangan kakak, kalian ini pelopor dan penerus perjuangan, kakak yakin suatu saat kalian akan menjadi orang sukses dan peka terhadap kelestarian lingkungan.

Terkait dengan maksud kalian itu, kakak sambut dengan baik, bahkan kakak telah mempersiapkan segala sesuatu, kalian boleh bergerak bersama dengan relawan yang telah tergabung dalam Lembaga kakak, melakukan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga tidak ada lagi yang membuang sampah sembarangan.

Langkah selanjutnya kita akan membuat pelatihan cara pengelolaan sampah yang baik, seperti memisahkan sampah organik dengan non organik dan memanfaatkan sampah menjadi pundi-pundi Rupiah. Jelas kak Raka.

“Lalu bagaimana kak, kami kan masih sekolah, lagian itu di Luar Kota,” ucap Laras. Sambil tersenyum kak Raka menjawab, “pasti adik-adik, kalian tidak boleh libur sekolah, kalian hanya bergabung pada hari libur saja” jawab kak Raka.

Bersambung……